Senin, 24 Oktober 2011

Tugas Soft Skil Organisasi Regional - Konflik

KONFLIK OAU

          Berbagai konflik dan kesengsaraan yang terjadi di Afrika merupakan manifestasi dari masa kolonialisme dan imperialisme Barat yang kemudian memberikan dampak bagi instabilitas kawasan Afrika . Hal ini telah memunculkan sejumlah permasalahan yang harus dihadapi kedepan oleh bangsa Afrika, seperti konflik dan permasalahan etnis, konflik agama, perang saudara, rezim militeristik, sengketa wilayah, klaim perbatasan, dan lain-lain. Namun, menurut Aluko , permasalahan etnik Afrika merupakan hal utama dari munculnya berbagai konflik di Afrika. Konflik yang terjadi di Afrika malah lebih parah lagi ketika Barat campur tangan dalam setiap permaslahan maupun konflik yang terjadi di Afrika. Hal ini telah menimbulkan konflik laten antar suku, perpecahan dikalangan rakyat Afrika, dan adanya rezim yang korup. Pada akhirnya, hal tersebut membuat dinamika dan stabilitas kawasan Afrika semakin rawan yang malah membahayakan tingkat dan kemajuan kerjasama regional yang dicapai. 
Menurut Dipoyudo, karakter konflik yang terjadi di Afrika diwarnai oleh sifat radikal-moderat negara-negara Afrika dimana hal itu mencerminkan perebutan pengaruh antara AS vs Soviet beserta sekutunya. Sifat radikal mencerminkan pengaruh Soviet di negara tersebut, seperti Angola, Ethiopia, Mozambik, Libya, dan Rhodesia. Sementara sifat moderat menandai pengaruh AS terhadap negeri tersebut, seperti Namibia, Somalia, dan lain-lain. Hal inilah yang kemudian menyebabkan ketegangan antara negara satu dengan negara lainnya yang kemudian berakhir dengan perang satu sama lain. Tentunya, kondisi ini tak lepas dari masa dekolonialisasi Afrika dimana negara-negara Eropa dengan kekuasaan mereka membagi-bagi dan menetapkan garis demarkasi dan perbatasan antar negara satu dengan negara lainnya yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosio-kultural tapi lebih pada aspek geografis. Sehingga, tak heran jika terdapat satu etnik terpisah dalam dua wilayah negara, misalnya suku Hutu dan Tutsi di Rwanda dan Burundi yang sering timbul ketegangan akibat sentimen etnis di Rwanda menyebabkan reaksi dari etnis lain di Burundi yang pada akhirnya berujung pada perang antar negara. Bahkan timbul perang saudara jika suku Hutu dan Tutsi tersebut saling konflik dalam satu wilayah kedaulatan. Ini merupakan bagian dari politik pecah belah penjajah yang pada akhirnya menimbulkan konflik internal pasca dekolonialisasi Afrika. 
Politik dan rezim apharteid di Afrika Selatan merupakan dimensi lain dari konflik internal kawasan. Rezim ini telah membangkitkan permasalahan rasial antara kulit putih vs kulit hitam dimana terdapat stratifikasi baik secara ekonomi, politik, dan sosial antara kulit putih sebagai warga yang memiliki prevelege vs kulit hitam yang dianggap sebagai kelas budak. Politik apharteid pertama kali dikembangkan oleh Partai Nasional Afrika (ANP) pada 1948, dan ini digunakan sebagai landasan dalam governance kenegaraan oleh Presiden Daniel Malan yang berkuasa pada 1947-1954. Karena politik apharteidnya ini, Afrika baru bisa masuk menjadi anggota OAU pada 1994 setelah poltik apharteidnya dihapus pada 1991 . 
Selain itu, terdapat ketegangan-ketegangan perbatasan, suku, ekonomi, serta politik di wilayah Afrika Timur antara Kenya, Uganda, dan Tanzania; klaim irendentis Somalia atas Djibouti dan sebagian Kenya; persaingan Afar-Issa di Djibouti; perebutan dan klaim perbatasan Libya dengan Mesir, Tunisia dengan Nigeria; klaim-klaim Zaire dan Kongo atas Angola Cabinda maupun gerakan kemerdekaan lokal; status pulau Mayotte dan Comorro; serta sampai pada klaim gerakan kemerdekaan atas kedaulatan di Azores dan kepulauan Canari . Hal ini telah menimbulkan ketidakamanan dan instabilitas kawasan yang sering bergejolak sehingga memberikan efek bagi berlangsungnya kerjasama regional yang penuh dengan fluktuasi. 
Hampir disebagian besar wilayah Afrika pada tahun 1950-an masih mengalami pergolakan bahkan masih belum merdeka. Konflik yang terjadi di wilayah Tanduk Afrika diwarnai oleh perang pembebasan Eritrea sejak tahun 1962 ketika Ethiopia menganeksasinya dan menjadikan bagian dari propinsinya. Selain itu, terjadi pula konflik antara Ethiopia vs Somalia mengenai perebutan wilayah Ogaden, Djibouti, dan daerah timur laut Kenya. Konflik ini terjadi akibat warisan kolonial Perancis yang membagi-bagi wilayah koloninya sehingga menimbulkan ketidakpuasan antara kedua belah pihak. Konflik tersebut telah membawa negara-negara Afrika lainnya terlibat dalam peperangan. Libya misalnya dengan dukungan Soviet dan Kuba membantu Etiopia dalam konflik di Eritrea dan Ogaden. Sementara Sudan, Mesir, dan Arab Saudi, dan negara-negara Arab lainnya dengan dukungan AS dan sekutunya membantu Somalia ketika berkonflik dengan Ethiopia. Terlihat betapa konflik tersebut telah bereskalasi tidak hanya mengundang negara sekawsan untuk ikut dalam konflik tersebut tapi juga negara diluar kawasan turut andil dalam memperparah keadaan konflik yang terjadi. 
Sementara di wilayah Afrika Timur Laut diwarnai oleh konflik antara Mesir dan Sudan mengenai perebutan air Sungai Nil yang memiliki arti strategis bagi kedua negara. Tak heran jika air di wilayah ini menjadi isu penting bagi keberlangsungan warganya untuk beraktifitas sehari-hari, dan jika tak terpenuhi maka konflik merupakan hal yang niscaya bagi kedua negara. Dinamika lain di wilayah ini adalah permusuhan Libya vs Mesir yang dimulai tahub 1973 ketika Presiden Sadat menolak usul Presiden Kadafi untuk menyatukan dua negara. Akibatnya, masing-masing pemimpin ini berusaha melakukan subversi untuk saling menjatuhkan pemerintahannya. Dalam perkembangannya, konflik tersebut tidak sampai menimbulkan perang terbuka tetapi ketegangan antara Mesir-Libya semakin meningkat. 
Dinamika yang terjadi di wilayah ini sangatlah berpengaruh terhadap upaya-upaya kerjasama regional yang telah digagas dalam kerangka OAU. Akhirnya, dapat dilihat bahwa kerangka kerjasama regional dalam OAU masih belum bisa memajukan persatuan diantara negara-negara Afrika sehingga upaya untuk mencapai integrasi regional masih jauh dari apa yang dicita-citakan sesuai dengan tujuan OAU yang tercantum dalam pasal II. OAU masih lemah dalam memobilisasi negara-negara Afrika untuk meredam dan menyelesaikan perpecahan-perpecahan yang terjadi, terlebih efisiensi OAU dibatasi oleh faktor objektif yang ada diluar tanggung jawab negara-negara Afrika. Ini menunjukkan bahwa tingkat regional awareness negara-negara Afrika masih dibatasi oleh kepentingan nasional yang lebih utama dari pada kepentingan bersama sebagai sebuah entitas dalam kawasan yang begitu besar. Bahkan yang selama ini terjadi adalah OAU hanya sebatas membicarakan perpecahan dan konflik yang terjadi dari pada menyelesaikannya. Namun, hal itu lebih dikarenakan kurangnya sumber daya yang mendukung bagi penciptaan mekanisme penyelesaian konflik, walaupun organisasi ini memiliki pasukan perdamaian regional di bawah bendera OAU. Konflik telah mewarnai ketidakefektifan OAU untuk fokus pada pembagunan kawasan yang diharapkan dapat mempercepat integrasi regional Afrika. 
Ketika OAU berevolusi menjadi Uni Afrika (UA) terdapat optimisme bahwa kerangka kerjasama regional yang baru ini akan memberikan daya ikat yang kuat bagi terciptanya kerjasama antar negara Afrika. Hal ini didasarkan pada bentuk Union merupakan sebuah tahapan tinggi dari proses integrasi regional sebuah kawasan. Terlebih jika meninjau Constitutive Act Uni Afrika, maka dapat disimpulkan bahwa kerangka organisasi ini hampir mirip dengan Uni Eropa, dimana organ organisasi Uni Afrika terdiri Majelis Tinggi; Dewan Eksekutif; Parlemen Pan-Afrika; Mahkamah Afrika; Komisi; Komite Perwakilan Permanen; Komite Teknik Khusus; Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Dewan Perdamaian dan Keamanan; dan Institusi Keuangan). Dengan bentuk barunya ini, Uni Afrika ingin menjadi sebuah organisasi regional se-progresif Uni Eropa yang telah mencapai tahapan-tahapan integrasi regional yang lebih maju. Namun, dimensi konflik internal kawasan masih tidak dapat dilepaskan dari keefektifan organisasi ini untuk mencapai integrasi regional yang menyatukan dan mengintegrasikan Afrika (united and integrated Africa ) pada 2030. 
Pada akhirnya masih terdapat sejumlah tantangan bagi Afrika untuk mencapai integrasi tersebut. Hal ini didasarkan pada dinamika konflik kawasan pada era 1950-1960-an ketika OAU terbentuk masih terus berlangsung hingga sekarang dengan wujud yang sama, yaitu konflik etnis, rezim otoritarian dan kudeta militer, perang saudara, dan masalah perbatasan, dimana semua itu merupakan momok bagi pembangunan kawasan Afrika, terlebih masalah etnik. Seperti yang diungkapkan Kofi Annan dalam pertemuan puncak keempat Uni Afrika di Abuja, Nigeria, pada 2005 lalu bahwa Afrika masih tertinggal dari kawasan-kawasan dunia lainnya akibat konsekuensi-konsekuensi tragis dari konflik yang mematikan dan pemerintahan yang buruk (Kompas , 31 Januari 2005). 
Konflik baru-baru ini pada tahun 2000-an antara lain konflik di Republik Demokratik Kongo, perang saudara di Pantai Gading serta krisis kemanusiaan di wilayah Darfur, Sudan. Selain itu, masalah pengisian vacum of power di Somalia selama 14 tahun terakhir turut juga meawarnai dinamika konflik di era sekarang yang sebenarnya telah terjadi sejak lama (Kompas , 31 Januari 2005). Konflik di Kenya telah menyita perhatian Uni Afrika untuk turut turun tangan menyelesaikan konflik yang terjadi akibat krisis politik antara pemerintah Mwai Kibaki dengan pihak oposisi pimpinan Raila Odinga (DW-World.DE , 9 Januari 2008; Newsvoa.com , 9 Januari 2008). Konflik ini telah membuat KTT Uni Afrika di Ethiopia tidak fokus pada pembicaraan mengenai industrialisasi yang berguna bagi penguatan kerjasama regional . Sementara, demi menyelesaikan konflik di Darfur, Uni Afrika mengirimkan pasukan perdamaiannya sebagai wujud untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di Afrika (Suara Merdeka , 14 Januari 2005; Kompas , 22 September 2006). 
Polemik konflik lainnya terjadi di Zimbabwe dimana konflik terjadi karena krisis politik akibat Robert Mugabe tidak mau mengakui hasil pemilu yang memenangkan pihak oposisi Morgan Tsvangirai . Hal ini telah memicu sejumlah kekerasan diberbagai daerah Zimbabwe, terlebih kondisi ini semakin memperparah krisis ekonomi yang sedang dilanda Zimbabwe. Sementara di Togo terjadi kudeta militer dimana Faure Eyadema diangkat sebagai Presiden Togo oleh pihak militer untuk menggantikan mendiang ayahnya, Presiden Gnassingbe Eyadema. Alasan mendasar pihak militer adalah untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Togo. Namun, Uni Afrika mengangap hal itu telah menyalahi tujuan dan prinsip-prinsip Uni Afrika seperti yang tercantum dalam Constitutive Act Pasal 3 dan 4 (African Union Web Site, www.africa-union.org ). Konflik kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Afrika yang turut berpengaruh terhadap dinamika kawasan dalam mencapai integrasi regional. 
Terlihat betapa upaya-upaya yang ditempuh oleh Uni Afrika dalam mencapai integrasi regional sedikit lebih maju dari OAU. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah perubahan yang sangat signifikan dalam Constitutive Act yang menjadi dasar bagi Uni Afrika yang berbeda dengan Piagam OAU yang cenderung eksklusif. Namun, upaya untuk mencapai integrasi regional masih dibayangi oleh sejumlah konflik yang merupakan bagian klasik yang sampai sekarang tetap menjadi momok bagi Afrika. Terlebih instabilitas dan rezim yang korup serta militeristik merupakan ciri utama dari pemerintahan di benua ini. Hal tersebut semakin runyam dengan ditambah persoalan etnik yang masih menjadi domaian dalam setiap konflik-konflik yang terjadi di Afrika. Maka, lengkap sudah sejumlah persoalan yang harus dihadapi Afrika untuk mencapai tahapan integrasi regional yang lebih maju seperti Uni Eropa. 
Walaupun tahapan integrasi di Afrika melalui kerangka Uni Afrika telah mencapai Union, tapi itu masih berada jauh dalam konsep Union itu sendiri. Ini tak lepas dari dinamika konflik yang selalu terjadi di Afrika. Hal ini kemudian menjadikan isu atau permasalahan politik selalu utama dari pada isu ekonomi yang merupakan faktor awal untuk mencapai tahapan integrasi regional. Dinamika ini membuat wacana neofungsionalisme belum mengakar kuat di Afrika, hanya pada level partikular saja yaitu secara individu pada level negara. Nampaknya realisme politik masih menjadi domain dalam regionalisme di Afrika, terbukti dengan tidak adanya political will untuk sepenunuya taat asas terhadap Constitutive Act , dan belum terciptanya reformasi birokratis serta penguatan nation dan state building dari negara-negara Afrika yang multietnik dan kurang basis legitimasi dari warga negaranya.

Jumat, 21 Oktober 2011

Tugas Soft Skill


Latar Belakang , Tantangan ,  Hambatan Serta Tujuan Uni Afrika Sebagai Organisasi Regional Terbesar di Afrika


A. Kemunculan Regionalisme di Afrika

             Afrika merupakan sebuah kawasan yang cukup luas. Akan tetapi Afrika merupakan benua yang memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Ini dapat dilihat dari bagian sub-sahara Afrika dimana 37 dari 48 state yang ada merupakan negara dengan tingkat pendapatan yang rendah (Shaw, 2000). Di Afrika sendiri bentuk dari regionalisasinya cenderung mikro-regionalisme, dimana kerjasama yang terjadi cenderung dilakukan oleh antarnegara di benua Afrika. Regionalisme dipandang sebagai sebuah proses yang berbeda-beda. Menurut Timothy M. Shaw, regionalisasi di Afrika tersebut baru terbentuk pada masa millennium baru (Shaw, 2000). Kebangkitan regionalisme Afrika ini dimulai pada awal abad 20. Pada saat perang dunia kedua sedang berlangsung, permasalahan-permasalahan yang diangkat menjadi Afrika-sentris dan fokusnya tentang adanya pencelaan pada segala bentuk kolonialisme dan adanya dominasi orang-orang kulit putih. Selain itu regionalisme di Afrika baru bisa berkembang juga karena banyaknya negara-negara di Afrika yang mulai memerdekakan dirinya dari kolonialisme (Bach, 2003). Adanya konflik yang diwarisi sejak era kolonialisme kemudian meninggalkan serangkaian persoalan terutama terkait dengan perbatasan dan area kedaulatan. Ditambah lagi dengan kemiskinan yang luar biasa yang mendorong banyak sekali aksi pelanggaran HAM dan berbagai krisis seperti perang saudara. Masalah kaburnya batas-batas yang jelas selain memicu perang saudara juga menimbulkan berbagai tindak kriminal internasional yang terorganisir seperti jaringan perdagangan obat-obatan ilegal, money laundering dan terorisme. Khusus untuk permasalahan terorisme ini, Afrika merupakan sasaran empuk teroris karena selain kaburnya batas-batas negara, juga didukung oleh supremasi hukum yang lemah.
Munculnya gerakan regionalisme di Afrika ini tidak lepas dari peran pergerakan dari oraganisasi perlawanan rakyat Afrika Front Line States (FLS) dan Pan-African. FLS sendiri ada untuk melawan adanya dominasi kulit putih dikawasan Afrika. Dominasi ini juga merupakan akibat dari adanya kolonialisme di Arika. Sedangkan Pan-African merupakan sebuah pergerakan yang dibentuk di AS dan West Indies pada abad ke-20. Pada akhir PD II, pan-African lebih terfokus pada denouncing colonialism dan white domination. Pan-African memberikan banyak kontribusi dalam terbentuknya OAU yang pada akhirnya menjadi titik awal dari berkembangnya regionalism di Afrika. Pada 1963 berdasarkan Addis Ababa charter didirikan sebuah organisasi yang berdasar pada adanya pembentukan persatuan di Afrika yaitu Organisation of African Unity (OAU). OAU memiliki tujuan awal untuk membebaskan negara-negara di Afrika yang sebagian banyak masih dibelenggu dalam bayang-bayang kolonialisme dan adanya permasalahan rasial. Jadi pada dasarnya regionalisme di kawasan Afrika pada awalnya lebih banyak didasari atas adanya keinginan untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Seiring berjalannya waktu dengan kemunculan OAU sebagai pendongkrak semangat bangsa Afrika. Munculah beberapa organisasi lain yang juga muncul berdasarkan kerjasama regional di Afrika. Contohnya adalah pada awal 1980-an berdirilah African Economic Community (AEC), yang berisikan 53 negara. Organisasi ini diharapkan dapat memberikan semangat kepada negara-negara di Afrika dan menaikan produksi ekonomi masyarakat Afrika. Dalam organisasi ini diharapkan adanya pergerakan yang bebas atas barang serta faktor produksinya, pembentukan pasar domestik tunggal, bank sentral, dll.
Dalam menjalankan fungsinya, OAU memberikan jaminan non intervensi pada masalah internal negara anggota yang lalu dimanfaatkan oleh rezim otoriter untuk menindas rakyatnya. Hal inilah yang memicu keinginan untuk membentuk African Unity (AU). AU terbentuk pada 9 Agustus 2002 dengan fokusnya pada sektor keamanan, pengembangan ekonomi, dan kestabilan wilayah Afrika. Dalam perkembangannya regionalisme mulai menunjukan arah positif dalam kerjasama-kerjasama ekonomi. Dimana terdapat tujuh Regional Economics Community (REC) yang disebutkan oleh African Union (AU) yaitu Arab Maghreb Union (AMU), Economic Community of Central African States (ECCAS), Common Market for East and Southern Africa (COMESA), Southern Africa Development Community (SADC), Intergovernmental Authority on Development (IGAD), Economic Community of West African States (ECOWAS), dan Community of Sahelian-Saharan States (CEN-SAD). Dari bentuk-bentuk regionalisme diatas dapat dilihat bahwa bentuk dari regionalisme di Afrika cenderung membahas permasalahan ekonomi yang cukup sering terjadi di Afrika.

B. Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan Uni Afrika

            Pemukim kulit putih mulai berdatangan di tahun 1880-an di Kerajaan Afrika bagian selatan yang kini disebut sebagai Zimbabwe atau Rhodesia. Penjajah mengganti nama tempat itu dengan Rhodesia sesuai dengan nama tokoh Inggris yakni Cecil Rhodes yang bermimpi menyatukan seluruh dunia di bawah pemerintahan Inggris, dan menjadikan Inggris kaya dari hasil alam yang ada yakni berlian, emas dan perunggu (Times, 2001). Rhodes membuka jalan bagi para penjajah Inggris dan perusahaan yang dimilikinya untuk menduduki Afrika pada waktu itu. Hal-hal yang dilakukannya antara lain dengan, membuka lahan pertambangan dengan memperkejakan orang-orang asli Afrika.
Dari ilustrasi diatas, dapat terlihat adanya kolonisasi oleh bangsa asing di Afrika, sehingga pada tanggal 25 Mei 1963, OAU (Organization of African Union) didirikan oleh 32 pemimpin negara-negara independen Afrika (Ashgate, 2006). Mandat dari OAU adalah untuk mempromosikan kesatuan Afrika yang baru, untuk menghapuskan segala bentuk kolonialisme di Afrika, untuk mempromosikan kerjasama antar benua, dan untuk mempertahankan kedaulatan dari masing-masing wilayah negara yang ada di Afrika. Tujuannya adalah untuk membantu menyelesaikan dekolonisasi dari benua itu, tetapi pembentukannya tergantung pada keberhasilan prinsip kemerdekaan Afrika. Para pendirinya adalah beberapa tokoh besar di Afrika, termasuk Dr Kwame Nkrumah Ghana, Leopold Senghor Sédar Senegal, Haile Selassie dari Ethiopia (www.ohncr.org).
Pada 1940-an dan awal 1950-an, partai politik baru di negara-negara Afrika menuntut kebebasan politik dan juga meminta penghentian dominasi kolonial. Italia dan Inggris, diikuti oleh Perancis dan Belgia akhirnya menanggapi permintaan untuk memerdekakan negara-negara jajahannya. Libya memperoleh kemerdekaan dari Italia pada 1951, Mesir telah menerima kemerdekaan resmi pada 1922, tetapi pasukan Inggris tetap di sana sampai 1954. Inggris juga memerintah Ghana (sebelumnya Gold Coast) yang pada tahun 1957 adalah negara pertama di selatan Sahara yang menjadi negara mandiri. Kwame Nkrumah, yang memimpin gerakan kemerdekaan di sana mulai berbicara tentang kerjasama antara negara-negara independen Afrika.
Ketika Nkrumah memperkenalkan konsep persatuan Afrika di benua itu, negara-negara Afrika baru merdeka dibagi menjadi dua kelompok. Beberapa negara dan pemimpin mereka, termasuk Nkrumah, Sékou Toure dari Guinea, dan Modibo Keita dari Mali berusaha untuk bersatu, bahkan dari sektor militer mereka juga berusaha membuat kelompok militer Afrika yang bersatu. Selanjutnya di Mesir, pemerintahan transisi dari Aljazair dan Maroko, bergabung dengan Uni Ghana-Guinea-Mali untuk membentuk Grup Casablanca. Grup selanjutnya adalah Grup Monrovia, terdiri dari 24 negara termasuk Nigeria, Liberia, Senegal, Pantai Gading, Kamerun, dan Togo. Negara-negara pada Grup Monrovia percaya pada pendekatan yang lebih bertahap untuk persatuan Afrika, yakni dengan menggabungkan ekonomi lintas-perbatasan sebagai langkah pertama. Banyak yang percaya bahwa keretakan antara kedua kelompok (Casablanca dan Monrovia) ini akan bersifat permanen, dan harapan untuk persatuan Afrika akan menagalami banyak hambatan.
Melihat hal tersebut, OAU dinilai masih belum menjadikan Afrika satu, oleh karena itu OAU berganti nama menjadi African Union (AU) pada tahun 2002. Mewakili 53 negara di Afrika, AU adalah penerus OAU yang didirikan pada tahun 1963, yang bekerja untuk membawa negara-negara Afrika untuk mendapatkan dan memperkuat kemerdekaan mereka dari negara-negara Eropa, yang telah memerintah atas mereka dengan kekerasan, selama beberapa dekade. OAU berdiri melawan kolonialisme, apartheid, dan ketergantungan pada negara asing, sementara itu AU menekankan pada demokrasi, hak asasi manusia, pembangunan dan ekonomi. Misi utama AU relatif baru yakni menciptakan kesatuan yang lebih besar dan kerjasama antar negara anggota dan di antara bangsa-bangsa Afrika dalam rangka meningkatkan kondisi kehidupan di benua ini (www.africa-union.org). 53 negara anggota berharap bahwa organisasi akan memungkinkan negara-negara Afrika untuk lebih didengar dalam diskusi dan negosiasi global.

C. Tantangan dan Hambatan yang Dihadapi Uni Afrika

              Sebagai sebuah organisasi regional, tantangan yang dihadapi oleh Uni Afrika sangatlah berat, baik dari segi internal maupun eksternal kawasan tersebut. Bila dibandingkan sekilas dengan organisasi regional di kawasan Asia, misalnya, jelas sekali terlihat bahwa Uni Afrika masih belum dapat menunjukkan pengaruh atau eksistensinya di dunia internasional. Ada beberapa faktor terkait dengan perkembangan regionalisme di Afrika ini. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah kondisi geografi Afrika yang didominasi oleh wilayah gurun yang tandus, teknologi dan sumber daya manusia yang kurang berpendidikan, dan banyaknya angka kriminalitas seperti pelanggaran HAM, terorisme dan masalah-masalah internal lainnya. Kondisi tersebut membuat negara-negara maju menjadi enggan untuk memulai penanaman modal atau investasi di Afrika. Hal ini tentu saja berpengaruh pada pertumbuhan negara Afrika sendiri yaitu dengan sedikitnya peran pihak asing (negara maju) di wilayah Afrika, maka globalisasi pun juga akan sulit untuk menjangkau negara tersebut.
Kondisi geografi suatu negara memang tidak mungkin untuk diubah, tetapi faktor lain seperti seperti teknologi, sumber daya manusia, dan tingkat kriminalitas di wilayah Afrika merupakan variabel yang bisa diubah. Hal pertama yang harus diubah adalah mengenai sumber daya manusia Afrika yang kurang ahli. Organisasi-organisasi regional, misalnya Uni Afrika dan pemerintah seharusnya mengadakan suatu pelatihan bagi masyarakat Afrika sehingga tenaga kerja masyarakatnya dapat memaksimalkan usaha-usaha dalam negeri. Apabila sumber daya manusia di Afrika dapat ditingkatkan ke tingkat profesional, maka perekonomian Afrika akan dapat ditingkatkan juga. Kedua, masalah teknologi. Dengan adanya sumber daya manusia yang baik, teknologi juga akan dapat ditingkatkan ke skala global. Ketiga, masalah kriminalitas yang sulit sekali diselesaikan. Jika masalah kriminalitas di Afrika dapat diminimalisasi, maka negara-negara maju mungkin tidak akan enggan untuk menjalin hubungan kerjasama dengan Afrika dan hal ini tentu saja akan dapat memajukan regionalisme di Afrika.
Penjelasan di atas merupakan sebuah penjelasan singkat mengenai masalah utama yang di hadapi negara-negara di Afrika secara umum. Terbentuknya Uni Afrika seharusnya mampu mengatasi masalah-masalah di atas. Inilah yang menjadi tantangan utama bagi sebuah organisasi regional seperti Uni Afrika, yaitu bagaimana negara-negara di Afrika dapat bersatu dan menggabungkan kekuatan dalam menghadapi isu-isu tersebut. Tantangan lain yang dihadapi oleh Uni Afrika adalah hal-hal yang terkait dengan konflik internal kawasan tersebut. Afrika merupakan negara yang masih diwarnai dengan konflik antar negara, baik masalah etnis, perbatasan maupun perebutan sumber daya alam. Misalnya saja konflik yang terjadi di Somalia, krisis kemanusiaan yang terjadi di wilayah Sudan, krisis politik yang menimbulkan konflik di Zimbabwe, dan masih banyak konflik lainnya. Dalam merespon konflik internal tersebut, Uni Afrika telah menunjukkan usahanya, seperti pengiriman pasukan perdamaian dalam penyelesaian konflik di Darfur, dan penggelaran konferensi antar anggota Uni Afrika untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada.
Selain tantangan dalam menyelesaikan konflik internal, berikut ini adalah tantangan-tantangan yang dihadapi Uni Afrika, sesuai dengan yang tercantum dalam Strategic Plan of the Commission of the African Union yaitu:

- Weak linkages and bridges between the resources of the continent
Untuk menyatukan atau mengintegrasikan suatu kawasan, maka perlu adanya infrastruktur yang dapat mempermudah mobilitas masyarakat dalam pertukaran ide dan pengalaman. Inilah yang masih menjadi tantangan bagi Uni Afrika yang mana kondisi infrastruktur jalan, rel kereta api, jembatan, dan telekomunikasi masih belum lengkap sehingga banyak daerah-daerah yang masih sulit dijangkau.
- The Weakness of the Existing Capacities in the Commission
Komisi Uni Afrika dibentuk sebagai mesin penggerak persatuan kawasan, tapi pada praktiknya, kapasitas komisi organisasi regional tersebut masih belum cukup untuk dapat mewujudkan tujuan-tujuan organisasi.
- Institutional Cacophony
Tantangan selanjutnya bagi Uni Afrika adalah bagaimana menyatukan institusi-institusi regional maupun sub-regional untuk bekerja sama dan diorganisasi dengan baik sehingga dapat bekerja lebih efektif dan tidak terjadi overlapping.
- The Challenge of Creating Effective Governance Instrument for the African Union
Ada beberapa bagian penting dalam Uni Afrika. Pertama, the commission yang berperan sebagai motor penggerak terwujudnya union. Kedua, member states yang berfungsi sebagai manajer di bidang politik. Kemudian, Pan-African Parliament dan ECOSOCC sebagai kontrol terhadap jalannya demokrasi. Keempat, REC (Regional Economic Community) sebagai building blocks dari union tersebut. kelima, court of justice sebagai lembaga judisial, dan African Court of Human and People’s Rights. Tantangan bagi Uni Afrika kemudian adalah bagaimana menumbuhkan pemahaman antar organ-organ penting dalam Uni Afrika sendiri sehingga setiap organ dapat berfungsi sebagaimana mestinya (sesuai dengan peranan masing-masing).
Uni Afrika memiliki jumlah anggota yang sangat banyak, sehingga struktur yang dibentuk menjadi sedemikian kompleks. Kompleksitas ini menimbulkan gagasan untuk membentuk sebuah pemerintahan Afrika, gagasan ini dicetuskan oleh presiden Libya Muammar al-Gaddafi dalam pertemuan Uni Afrika Februari 2009. Tujuannya untuk memberikan peran lebih besar kepada Uni Afrika di kancah internasional dan membentuk semacam “Perserikatan Negara-negara Afrika”.
Sebagai sebuah organisasi regional yang menaungi banyak negara anggota, Uni Afrika tentu memiliki hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan-tujuannya. Secara umum, hambatan yang dihadapi negara-negara Afrika sejak mereka memperoleh kemerdekaannya adalah pembentukan sebuah pemerintahan yang demokratis dan dapat menciptakan sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, pemerintahan negara-negara Afrika, baik secara individu maupun kolektif, selama bertahun-tahun telah menerapkan berbagai macam strategi dan memberikan respon pada tantangan ini (Shinkaiye, 2006).
Selain itu, seiring dengan arus globalisasi yang membawa serta ideologi neoliberal ke benua Afrika juga pengaruh yang cukup signifikan. Kebijakan neoliberal yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia dan kekerasan dari arus globalisasi korporasi yang dipimpin justru memperlemah Afrika. Karakteristik utama dari benua itu adalah kelemahan dan adanya pembagian divisi-divisi, walaupun dibentuk Uni Afrika dan penerapan New Partnership for Africa’s Development (NEPAD), divisi-divisi ini tetap ada. Hubungan Neo-kolonial masih kuat dengan pengaruh dari mantan kolonial. Masih banyak pangkalan dan fasilitas militer asing di benua itu. Beberapa negara masih tergantung pada negara-negara barat untuk keamanan mereka. Perancis campur tangan dalam Republik Afrika Tengah dalam upaya untuk membantu pemerintah memukul balik serangan dari kelompok pemberontak. Kemiskinan adalah hasil dari kebijakan yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia, dengan menggunakan dalih utang dengan keterlibatan pemerintah Afrika. Hal ini diperburuk oleh ketergantungan ekonomi, keuangan, dan politik pada negara-negara Barat dan lembaga-lembaga multilateral. Ketergantungan akan makanan telah meningkat secara dramatis. Menurut FAO dan badan PBB lainnya, lebih dari 43 juta penduduk Afrika menderita kelaparan, dan yang membunuh lebih banyak orang adalah HIV / AIDS, malaria dan TBC. Akibatnya, Afrika menghabiskan miliaran dolar dalam impor makanan, lalu dibayar oleh kredit dan bantuan dari negara-negara Barat dan lembaga multilateral (Dembele, 2007).

D. Tujuan OAU
OAU memiliki dua tujuan utama:
  • Untuk mempromosikan kesatuan dan solidaritas Afrika negara dan bertindak sebagai suara kolektif untuk benua Afrika. Hal ini penting untuk mengamankan masa depan jangka panjang Afrika ekonomi dan politik. Tahun kolonialisme telah melemahkan sosial, politik dan ekonomi. [ kutipan diperlukan ]
  • OAU juga didedikasikan untuk penghapusan segala bentuk kolonialisme , seperti, ketika didirikan, ada beberapa negara yang belum memenangkan kemerdekaan mereka atau minoritas yang diperintah. Afrika Selatan dan Angola dua negara tersebut. OAU mengusulkan dua cara membersihkan benua kolonialisme. Pertama, itu akan membela kepentingan negara-negara independen dan membantu untuk mengejar orang-orang yang masih terjajah. Kedua, itu akan tetap netral dalam hal urusan dunia, mencegah anggotanya dari yang dikontrol sekali lagi oleh kekuatan luar.
Sebuah Komite Pembebasan dibentuk untuk membantu gerakan kemerdekaan dan menjaga kepentingan negara yang sudah dibebaskan. OAU juga bertujuan untuk tetap netral dalam hal politik global, yang akan mencegah mereka dari yang dikontrol sekali lagi oleh kekuatan luar - sebuah bahaya khusus dengan Perang Dingin.
OAU memiliki tujuan lain, juga:
  • Pastikan bahwa semua Afrika menikmati hak asasi manusia .
  • Meningkatkan standar hidup dari semua Afrika.
  • Tenangkan argumen dan perselisihan antara anggota - tidak melalui pertempuran, tapi negosiasi lebih damai dan diplomatik.

E. Prospek Uni Afrika
Sebagai sebuah organisasi regional, Uni Afrika memiliki tujuan-tujuan guna tercapainya integrasi Afrika secara keseluruhan. Keberadaan organisasi regional Uni Afrika secara umum ditujukan untuk mencapai perbaikan kualitas hidup di Afrika sendiri (Badejo, 2008). Perbaikan kualitas hidup ini seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, kemakmuran dan demokrasi yang ada di negara-negara Afrika. Tentunya juga mengupayakan adanya kooperasi dan integrasi negara-negara Afrika secara menyeluruh (Badejo, 2008).
Selain tujuan diatas, Badejo menambahkan bahwa keberadaan Uni Afrika juga diupayakan sebagai penguat nilai tawar negara-negara Afrika di dalam hubungan internasional (Badejo, 2008). Tujuan utama organisasi tersebut pada akhirnya terbentur oleh hambatan-hambatan yang muncul seperti diatas. Meskipun demikian, dalam artikelnya, Mkwezalamba dan Chinyama (2007) menyebut bahwa organisasi Uni Afrika juga melakukan serangkaian perbaikan terkait hambatan yang ada.
Perbaikan-perbaikan terhadap hambatan yang ada tersebut pada akhirnya memberi sebuah harapan dan prospek terhadap kelangsungan Uni Afrika itu sendiri. Perbaikan-perbaikan yang ada seperti mengupayakan perdamaian dan peredaan konflik merupakan sebuah jalan keluar yang terbaik bagi Uni Afrika. Dengan upaya peredaan konflik seperti dengan membentuk The Solemn Declaration at the Conference on Security, Stability, Development and Cooperation in Africa (CSSDCA) dan The Memorandum of Understanding on Security, Stability, Development and Cooperation in Africa (Mkwezalamba dan Chinyama, 2007) Afrika menghadapi sebuah babak baru dalam menghadapi masa depan. Selain itu, hal yang paling penting adalah pengadobsian Protocol Relating to the Establishment of the Peace and Security Council (PSC) ke dalam Uni Afrika.
Selain mengupayakan peredaaan konflik dan perdamaian, prospek Uni Afrika dapat dicapai melalui perbaikan dalam bidang ekonomi politik. Perbaikan bidang ekonomi politik ini terutama berkaitan dengan reformasi makro ekonomi politik negara-negara di Afrika (Mkwezalamba dan Chinyama, 2007). Perbaikan ekonomi ini ditujukan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi sendiri, meningkatkan investasi dan mengupayakan berkurangnya kemiskinan. Perbaikan ekonomi politik ini menjadi sebuah hal penting dalam mengupayakan pembangunan Afrika karena jalan terbesar dalam mengupayakan integrasi dalam bidang ekonomi.
Dari serangkaian upaya perbaikan diatas, terlihat bahwa prospek terbesar Uni Afrika adalah berdirinya sebuah organisasi regional yang bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan negara-negara Afrika. Prospek dari Uni Afrika ini tentunya harus ditunjang oleh peningkatan dan perbaikan kualitas hidup negara-negara Afrika seperti yang telah disebut diatas. Hal ini karena semua prospek yang ada dan berpotensi sebagai keberhasilan Uni Afrika tidak akan muncul jika masih ada hambatan-hambatan. Oleh karena itu, Uni Afrika harus mengatasi terlebih dahulu hambatan yang dihadapi tersebut.
Selain hal diatas, satu hal lagi yang menjadi prospek keberhasilan Uni Afrika kedepan adalah melimpahnya sumber daya alam. Namun hal ini kembali pada ulasan diatas bahwa selama potensi sumber daya alam tersebut masih ditumpangi oleh konflik-konflik kepentingan, maka prospek Uni Afrika sebagai sebuah organisasi regional yang mengupayakan integrasi menyeluruh negara-negara di Afrika tidak akan mencapai titik keberhasilan. Oleh karena itu, sekali lagi dapat disebutkan bahwa Uni Afrika harus terlebih dahulu meminimalisasi hambatan yang agar potensi dan prospek keberhasilan Uni Afrika sebagai organisasi regional bisa tercapai dengan maksimal.










Daftar Pustaka
Adogamhe, Paul, G. 2008. PAN-AFRICANISM Revisited: Vision and Reality of African Union. African Review of Integration, Vol. 2 No. 2, July 2008.
Africa Hopes for New Beginning,” BBC News, July 9, 2002. diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/2116962.stm.
African Union. “The Constitutive Act.” Available online at http://www.africa-union.org.
Bach,Daniel., 2003, The Global Politics of Regionalism:Afrika, in Farrel,Mary,et al, Global Politics of Regionalism,Pluto Press,London.
Badejo, Diedre, L. 2008. The African Union. New York: Chelsea House Publishers.
Mkwezalamba, Maxwell, M dan Emmanuel, J. Chinyama. 2007. Implementation of Africa’s Integration and Development Agenda: Challenges and Prospects. African Integration Review, Volume 1 No. 1, January 2007.
Burgess, Stephen F. 2007. African Union. Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation.
Dembele, Demba Mousa. The United States of Africa: The challenges. 2007. diakses dari http://www.africa-union.org/Comments_AUG/DEMBELE.doc pada 24 Juni 2010.

Rabu, 19 Oktober 2011

TUGAS SOFT SKILL ORGANISASI - BAGIAN 1-5

Bagian 1


lembaga-lembaga sosial (bagaimana dan pengembangan lembaga-lembaga tersebut).

    Faktor-faktor yang telah di utarakan di atas dapat mempengaruhi dan akan menentukan sifat organisasi.
Dalam menghadapi berbagai macam faktor yang menyebabkan perubahan, organisasi dapat menyesuaikan diri dengan mengadakan berbagai perubahan dalam dirinya, antara lain:

Bagian Ke 2

1.   Mengadakan perubahan struktur organisasi. Struktur organisasi merupakan salah satu komponen
     organisasi yang sering menjadi sasaran perubahan. Perubahan struktur organisasi tersebut antara lain dapat
      dilakukan dengan jalan:

a.    Menambah atau mengurangi personil /pegawai
b.    Menambah atau mengurangi pejabat
c.    Menambah atau mengurangi satuan organisasi
d.    Mengubah kedudukan satuan organisasi
e.    Mengubah sistem desentralisasi menjadi sentralisasi atau sebaliknya
f.     Mengadakan peninjauan kembali tentang pembagian tugas
g.    Memecah beberapa satuan organisasi menjadi satuan-satuan organisasi yang lebih kecil
h.    Menggabungkan beberapa satuan organisasi menjadi satuan organisasi yang  lebih besar

Bagian Ke 3

i.      Mengubah beberapa prinsip organisasi yang dianggap perlu, misalnya mengubah rentangan kendali yang sempit menjadi rentangan kendali yang lebih luas atau sebaliknya. Mengubah tipe organisasi yang sudah ada atau yang sedang berjalan dengan tipe lain yang dianggap cocok.

2.           Mengubah sikap dan perilaku pegawai dengan mengadakan pembinaan,       
               pengembangan,pendidikan
              dan latihan pegawai.
3.           Mengubah tata aliran kerja
4.           Mengubah peralatan kerja sesuai perkembangan teknologi modern, pengembangan
              pendidikan dan
              latihan kerja.
5.           Mengadakan perubahan prosedur pekerja yang dapat meliputi:

a.            Perubahan prosedur kerja dalam penetapan kebijaksanaan
b.            Perubahan prosedur kerja dalam perencanaan
c.            Perubahan prosedur kerja dalam pengorganisasian
d.            Perubahan prosedur kerja dalam penggerakan
e.            Perubahan prosedur kerja dalam proses pengendalian
f.             Perubahan prosedur kerja dalam pengambilan keputusan


6.      Mengadakan perubahan dalam hubungan pekerja antar personal, baik secara vertikal, diagonal maupun secara horizontal.

Bagian Ke 4

       Perubahan struktur organisasi harus tetap berpegang teguh kepada prinsip bahwa struktur organisasi disusun dan ditetapkan dengan tujuan memberikan suatu gambaran tentang hal-hal sebagai berikut :

1.    Tipe organisasi yang dipergunakan, misalnya tipe piramit mendatar, tipe piramit terbalik.
2.    Bentuk organisasi yang bersangkutan, misalnya bentuk organisasi garis lini, bentuk organisasi                                       
       staf, bentuk organisasi fungsi, bentuk organisasi lini dan staf, bentuk organisasi lini dan fungsi,         
       bentuk organisasi lini.
3.    Jaringan hirarki atau saluran wewenang dan tanggung jawab.
4.    Saluran atau jaringan yang berlangsung dalam organisasi tersebut.
5.    Hubungan kerja yang terdapat dalam organisasi.
6.    Pembagian tugas luas sempitnya rentangan kendali
7.    Besar kecilnya organisasi yang bersangkutan
8.    Jumlah pejabat teras organisasi
9.    Kesederhanaan kekompleksan organisasi