Senin, 24 Oktober 2011

Tugas Soft Skil Organisasi Regional - Konflik

KONFLIK OAU

          Berbagai konflik dan kesengsaraan yang terjadi di Afrika merupakan manifestasi dari masa kolonialisme dan imperialisme Barat yang kemudian memberikan dampak bagi instabilitas kawasan Afrika . Hal ini telah memunculkan sejumlah permasalahan yang harus dihadapi kedepan oleh bangsa Afrika, seperti konflik dan permasalahan etnis, konflik agama, perang saudara, rezim militeristik, sengketa wilayah, klaim perbatasan, dan lain-lain. Namun, menurut Aluko , permasalahan etnik Afrika merupakan hal utama dari munculnya berbagai konflik di Afrika. Konflik yang terjadi di Afrika malah lebih parah lagi ketika Barat campur tangan dalam setiap permaslahan maupun konflik yang terjadi di Afrika. Hal ini telah menimbulkan konflik laten antar suku, perpecahan dikalangan rakyat Afrika, dan adanya rezim yang korup. Pada akhirnya, hal tersebut membuat dinamika dan stabilitas kawasan Afrika semakin rawan yang malah membahayakan tingkat dan kemajuan kerjasama regional yang dicapai. 
Menurut Dipoyudo, karakter konflik yang terjadi di Afrika diwarnai oleh sifat radikal-moderat negara-negara Afrika dimana hal itu mencerminkan perebutan pengaruh antara AS vs Soviet beserta sekutunya. Sifat radikal mencerminkan pengaruh Soviet di negara tersebut, seperti Angola, Ethiopia, Mozambik, Libya, dan Rhodesia. Sementara sifat moderat menandai pengaruh AS terhadap negeri tersebut, seperti Namibia, Somalia, dan lain-lain. Hal inilah yang kemudian menyebabkan ketegangan antara negara satu dengan negara lainnya yang kemudian berakhir dengan perang satu sama lain. Tentunya, kondisi ini tak lepas dari masa dekolonialisasi Afrika dimana negara-negara Eropa dengan kekuasaan mereka membagi-bagi dan menetapkan garis demarkasi dan perbatasan antar negara satu dengan negara lainnya yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosio-kultural tapi lebih pada aspek geografis. Sehingga, tak heran jika terdapat satu etnik terpisah dalam dua wilayah negara, misalnya suku Hutu dan Tutsi di Rwanda dan Burundi yang sering timbul ketegangan akibat sentimen etnis di Rwanda menyebabkan reaksi dari etnis lain di Burundi yang pada akhirnya berujung pada perang antar negara. Bahkan timbul perang saudara jika suku Hutu dan Tutsi tersebut saling konflik dalam satu wilayah kedaulatan. Ini merupakan bagian dari politik pecah belah penjajah yang pada akhirnya menimbulkan konflik internal pasca dekolonialisasi Afrika. 
Politik dan rezim apharteid di Afrika Selatan merupakan dimensi lain dari konflik internal kawasan. Rezim ini telah membangkitkan permasalahan rasial antara kulit putih vs kulit hitam dimana terdapat stratifikasi baik secara ekonomi, politik, dan sosial antara kulit putih sebagai warga yang memiliki prevelege vs kulit hitam yang dianggap sebagai kelas budak. Politik apharteid pertama kali dikembangkan oleh Partai Nasional Afrika (ANP) pada 1948, dan ini digunakan sebagai landasan dalam governance kenegaraan oleh Presiden Daniel Malan yang berkuasa pada 1947-1954. Karena politik apharteidnya ini, Afrika baru bisa masuk menjadi anggota OAU pada 1994 setelah poltik apharteidnya dihapus pada 1991 . 
Selain itu, terdapat ketegangan-ketegangan perbatasan, suku, ekonomi, serta politik di wilayah Afrika Timur antara Kenya, Uganda, dan Tanzania; klaim irendentis Somalia atas Djibouti dan sebagian Kenya; persaingan Afar-Issa di Djibouti; perebutan dan klaim perbatasan Libya dengan Mesir, Tunisia dengan Nigeria; klaim-klaim Zaire dan Kongo atas Angola Cabinda maupun gerakan kemerdekaan lokal; status pulau Mayotte dan Comorro; serta sampai pada klaim gerakan kemerdekaan atas kedaulatan di Azores dan kepulauan Canari . Hal ini telah menimbulkan ketidakamanan dan instabilitas kawasan yang sering bergejolak sehingga memberikan efek bagi berlangsungnya kerjasama regional yang penuh dengan fluktuasi. 
Hampir disebagian besar wilayah Afrika pada tahun 1950-an masih mengalami pergolakan bahkan masih belum merdeka. Konflik yang terjadi di wilayah Tanduk Afrika diwarnai oleh perang pembebasan Eritrea sejak tahun 1962 ketika Ethiopia menganeksasinya dan menjadikan bagian dari propinsinya. Selain itu, terjadi pula konflik antara Ethiopia vs Somalia mengenai perebutan wilayah Ogaden, Djibouti, dan daerah timur laut Kenya. Konflik ini terjadi akibat warisan kolonial Perancis yang membagi-bagi wilayah koloninya sehingga menimbulkan ketidakpuasan antara kedua belah pihak. Konflik tersebut telah membawa negara-negara Afrika lainnya terlibat dalam peperangan. Libya misalnya dengan dukungan Soviet dan Kuba membantu Etiopia dalam konflik di Eritrea dan Ogaden. Sementara Sudan, Mesir, dan Arab Saudi, dan negara-negara Arab lainnya dengan dukungan AS dan sekutunya membantu Somalia ketika berkonflik dengan Ethiopia. Terlihat betapa konflik tersebut telah bereskalasi tidak hanya mengundang negara sekawsan untuk ikut dalam konflik tersebut tapi juga negara diluar kawasan turut andil dalam memperparah keadaan konflik yang terjadi. 
Sementara di wilayah Afrika Timur Laut diwarnai oleh konflik antara Mesir dan Sudan mengenai perebutan air Sungai Nil yang memiliki arti strategis bagi kedua negara. Tak heran jika air di wilayah ini menjadi isu penting bagi keberlangsungan warganya untuk beraktifitas sehari-hari, dan jika tak terpenuhi maka konflik merupakan hal yang niscaya bagi kedua negara. Dinamika lain di wilayah ini adalah permusuhan Libya vs Mesir yang dimulai tahub 1973 ketika Presiden Sadat menolak usul Presiden Kadafi untuk menyatukan dua negara. Akibatnya, masing-masing pemimpin ini berusaha melakukan subversi untuk saling menjatuhkan pemerintahannya. Dalam perkembangannya, konflik tersebut tidak sampai menimbulkan perang terbuka tetapi ketegangan antara Mesir-Libya semakin meningkat. 
Dinamika yang terjadi di wilayah ini sangatlah berpengaruh terhadap upaya-upaya kerjasama regional yang telah digagas dalam kerangka OAU. Akhirnya, dapat dilihat bahwa kerangka kerjasama regional dalam OAU masih belum bisa memajukan persatuan diantara negara-negara Afrika sehingga upaya untuk mencapai integrasi regional masih jauh dari apa yang dicita-citakan sesuai dengan tujuan OAU yang tercantum dalam pasal II. OAU masih lemah dalam memobilisasi negara-negara Afrika untuk meredam dan menyelesaikan perpecahan-perpecahan yang terjadi, terlebih efisiensi OAU dibatasi oleh faktor objektif yang ada diluar tanggung jawab negara-negara Afrika. Ini menunjukkan bahwa tingkat regional awareness negara-negara Afrika masih dibatasi oleh kepentingan nasional yang lebih utama dari pada kepentingan bersama sebagai sebuah entitas dalam kawasan yang begitu besar. Bahkan yang selama ini terjadi adalah OAU hanya sebatas membicarakan perpecahan dan konflik yang terjadi dari pada menyelesaikannya. Namun, hal itu lebih dikarenakan kurangnya sumber daya yang mendukung bagi penciptaan mekanisme penyelesaian konflik, walaupun organisasi ini memiliki pasukan perdamaian regional di bawah bendera OAU. Konflik telah mewarnai ketidakefektifan OAU untuk fokus pada pembagunan kawasan yang diharapkan dapat mempercepat integrasi regional Afrika. 
Ketika OAU berevolusi menjadi Uni Afrika (UA) terdapat optimisme bahwa kerangka kerjasama regional yang baru ini akan memberikan daya ikat yang kuat bagi terciptanya kerjasama antar negara Afrika. Hal ini didasarkan pada bentuk Union merupakan sebuah tahapan tinggi dari proses integrasi regional sebuah kawasan. Terlebih jika meninjau Constitutive Act Uni Afrika, maka dapat disimpulkan bahwa kerangka organisasi ini hampir mirip dengan Uni Eropa, dimana organ organisasi Uni Afrika terdiri Majelis Tinggi; Dewan Eksekutif; Parlemen Pan-Afrika; Mahkamah Afrika; Komisi; Komite Perwakilan Permanen; Komite Teknik Khusus; Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Dewan Perdamaian dan Keamanan; dan Institusi Keuangan). Dengan bentuk barunya ini, Uni Afrika ingin menjadi sebuah organisasi regional se-progresif Uni Eropa yang telah mencapai tahapan-tahapan integrasi regional yang lebih maju. Namun, dimensi konflik internal kawasan masih tidak dapat dilepaskan dari keefektifan organisasi ini untuk mencapai integrasi regional yang menyatukan dan mengintegrasikan Afrika (united and integrated Africa ) pada 2030. 
Pada akhirnya masih terdapat sejumlah tantangan bagi Afrika untuk mencapai integrasi tersebut. Hal ini didasarkan pada dinamika konflik kawasan pada era 1950-1960-an ketika OAU terbentuk masih terus berlangsung hingga sekarang dengan wujud yang sama, yaitu konflik etnis, rezim otoritarian dan kudeta militer, perang saudara, dan masalah perbatasan, dimana semua itu merupakan momok bagi pembangunan kawasan Afrika, terlebih masalah etnik. Seperti yang diungkapkan Kofi Annan dalam pertemuan puncak keempat Uni Afrika di Abuja, Nigeria, pada 2005 lalu bahwa Afrika masih tertinggal dari kawasan-kawasan dunia lainnya akibat konsekuensi-konsekuensi tragis dari konflik yang mematikan dan pemerintahan yang buruk (Kompas , 31 Januari 2005). 
Konflik baru-baru ini pada tahun 2000-an antara lain konflik di Republik Demokratik Kongo, perang saudara di Pantai Gading serta krisis kemanusiaan di wilayah Darfur, Sudan. Selain itu, masalah pengisian vacum of power di Somalia selama 14 tahun terakhir turut juga meawarnai dinamika konflik di era sekarang yang sebenarnya telah terjadi sejak lama (Kompas , 31 Januari 2005). Konflik di Kenya telah menyita perhatian Uni Afrika untuk turut turun tangan menyelesaikan konflik yang terjadi akibat krisis politik antara pemerintah Mwai Kibaki dengan pihak oposisi pimpinan Raila Odinga (DW-World.DE , 9 Januari 2008; Newsvoa.com , 9 Januari 2008). Konflik ini telah membuat KTT Uni Afrika di Ethiopia tidak fokus pada pembicaraan mengenai industrialisasi yang berguna bagi penguatan kerjasama regional . Sementara, demi menyelesaikan konflik di Darfur, Uni Afrika mengirimkan pasukan perdamaiannya sebagai wujud untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di Afrika (Suara Merdeka , 14 Januari 2005; Kompas , 22 September 2006). 
Polemik konflik lainnya terjadi di Zimbabwe dimana konflik terjadi karena krisis politik akibat Robert Mugabe tidak mau mengakui hasil pemilu yang memenangkan pihak oposisi Morgan Tsvangirai . Hal ini telah memicu sejumlah kekerasan diberbagai daerah Zimbabwe, terlebih kondisi ini semakin memperparah krisis ekonomi yang sedang dilanda Zimbabwe. Sementara di Togo terjadi kudeta militer dimana Faure Eyadema diangkat sebagai Presiden Togo oleh pihak militer untuk menggantikan mendiang ayahnya, Presiden Gnassingbe Eyadema. Alasan mendasar pihak militer adalah untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Togo. Namun, Uni Afrika mengangap hal itu telah menyalahi tujuan dan prinsip-prinsip Uni Afrika seperti yang tercantum dalam Constitutive Act Pasal 3 dan 4 (African Union Web Site, www.africa-union.org ). Konflik kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Afrika yang turut berpengaruh terhadap dinamika kawasan dalam mencapai integrasi regional. 
Terlihat betapa upaya-upaya yang ditempuh oleh Uni Afrika dalam mencapai integrasi regional sedikit lebih maju dari OAU. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah perubahan yang sangat signifikan dalam Constitutive Act yang menjadi dasar bagi Uni Afrika yang berbeda dengan Piagam OAU yang cenderung eksklusif. Namun, upaya untuk mencapai integrasi regional masih dibayangi oleh sejumlah konflik yang merupakan bagian klasik yang sampai sekarang tetap menjadi momok bagi Afrika. Terlebih instabilitas dan rezim yang korup serta militeristik merupakan ciri utama dari pemerintahan di benua ini. Hal tersebut semakin runyam dengan ditambah persoalan etnik yang masih menjadi domaian dalam setiap konflik-konflik yang terjadi di Afrika. Maka, lengkap sudah sejumlah persoalan yang harus dihadapi Afrika untuk mencapai tahapan integrasi regional yang lebih maju seperti Uni Eropa. 
Walaupun tahapan integrasi di Afrika melalui kerangka Uni Afrika telah mencapai Union, tapi itu masih berada jauh dalam konsep Union itu sendiri. Ini tak lepas dari dinamika konflik yang selalu terjadi di Afrika. Hal ini kemudian menjadikan isu atau permasalahan politik selalu utama dari pada isu ekonomi yang merupakan faktor awal untuk mencapai tahapan integrasi regional. Dinamika ini membuat wacana neofungsionalisme belum mengakar kuat di Afrika, hanya pada level partikular saja yaitu secara individu pada level negara. Nampaknya realisme politik masih menjadi domain dalam regionalisme di Afrika, terbukti dengan tidak adanya political will untuk sepenunuya taat asas terhadap Constitutive Act , dan belum terciptanya reformasi birokratis serta penguatan nation dan state building dari negara-negara Afrika yang multietnik dan kurang basis legitimasi dari warga negaranya.