Keberanian Jokowi untuk memilih Ahok sebagai calon 
wakilnya di pilgub DKI sesungguhnya di luar kebiasaan seorang pemburu 
rente kekuasaan yang senang memilih zona aman untuk mendapatkan 
kekuasaan. Orang lebih senang memilih jalan short cut untuk mencapai 
tujuan, termasuk meraih kekuasaan. Logika inilah yang banyak 
dipraktekkan oleh pemburu kekuasaan dengan menjual isu primordialisme 
untuk mengkamuflasekan kapabilitas leadership dan manajerialnya. Dan 
tidak salah, di banyak daerah terbukti manjur.
        Namun jalan ini tidak dipilih oleh Jokowi. Dia 
lebih menyukai proses daripada hasil. Logika alaminya, proses yang baik 
akan menentukan kualitas hasil. Berbeda dengan orang yang berorientasi 
pada hasil, mereka sering melupakan proses, sehingga sering tidak 
mendapatkan pelajaran apa-apa. Kata bijak mengatakan bahwa “orang yang 
naik tahta dengan tanpa persiapan, dia akan turun dengan tanpa 
kehormatan”. Tidak sulit untuk membuktikan kalimat diatas, tinggal 
dilihat di buku notulen KPK, Kepolisian atau Kejaksaan, berapa pejabat 
yang sudah menjadi alumninya atau masuk dalam daftar waiting list-nya.
Pikiran Jokowi jauh melewati politisi dan 
“negarawan” negeri ini yang sering berpidato tentang “4 pilar negara”, 
kebhinekaan, pluralism, nasionalisme atau paham-paham kebangsaan yang 
lain. Seolah-olah ide-ide kebhinekaan, pluralism, nasionalisme melompat 
dari generasi Soekarno, Soepomo, Bung Hatta ke generasi Jokowi Ahok, 
tanpa menyisakan bekas-bekas di generasi perantara mereka. Di saat 
seorang mantan ketua lembaga tertinggi Negara, ketua umum parpol Islam 
dan juga sebagai pejabat negara masih terjebak dalam pemikiran 
primordialisme, Jokowi sudah mempraktekannya sepuluh tahun lalu, ketika 
menggandeng FX Rudi H. sebagai wakil walikota Solo. Inilah test case 
pertama Jokowi terhadap kedewasaan berbangsa dan bernegara yang 
diwariskan oleh founding fathers bangsa Indonesia, dan dia berhasil. 
Test case kedewasaan berbangsa dia lakukan untuk kedua kalinya, di 
Jakarta yang merupakan jantung pluralism di Indonesia, yang sekaligus 
berkumpulnya elit politisi, negarawan, pakar  dan para ahli-ahli agama, ternyata resistensinya jauh melebihi dari Kota Solo.
         Untuk memilih calon wakilnya, Jokowi lebih memilih kualitas leadership dan integritas  daripada
 label primordial yang melekat pada diri seseorang. Karenanya meskipun 
Ahok yang beretnis China dan beragama non-Islam, namun dia dengan mantap
 menggandengnya. Sebagai seorang muslim dan sudah menunaikan ibadah 
Haji, tentu Jokowi paham ajaran Islam, bisa membaca Qur’an dan Hadits. Di
 situlah letak keyakinan dia pada Tuhan, bahwa sekalipun dia memiliki 
wakil walikota non-islam keimanan dia tidak akan terpengaruh dan justeru
 menunjukkan romatisme kerukunan umat beragama. Jokowi yang islam tidak 
pernah menggunakan kekuasaannya untuk mengislamkan masyarakatnya yang 
non-islam, demikian juga FX Rudy H. tidak pernah menggunakan kekuasaanya
 untuk mengkristenkan umat islam.
Jokowi tak memiliki gairah untuk memperdebatkan 
soal keyakinan. Baginya menilai keimanan dan ketaqwaan seseorang adalah 
hak prerogative Tuhan. Oleh karena itu dia tidak peduli ketika banyak 
ustadz dan ahli agama yang senang mengkafirkan orang lain, bahkan 
saudara seimannya, seolah-olah merekalah pemegang kunci pintu sorga. 
Baginya, ketaqwaan harus menjelma dalam ruang social dan hadir dalam 
bentuk kesantunan, kejujuran, dan kesabaran. Pernahkah kita membaca 
berita bahwa Jokowi menfitnah atau menyerang pribadi lawan politiknya 
selama masa Pilkada DKI ? Padahal setiap hari dia diliput oleh media.
Keberanian menggandeng Ahok juga menunjukkan 
komitmennnya untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih focus menjalankan 
visi dan misinya. Tidak sulit bagi PDIP, Gerindra atau Jokowi sendiri 
untuk mencari figure popular seperti purnawirawan TNI-Polri ataupun 
politisi senior. Namun kredibilitas Ahok dalam membangun prinsip-prinsip
 akuntabilitas dan transparensi memberinya keyakinan bahwa roda 
pemerintahan akan kembali pada jalurnya. Duet Jokowi-Ahok sangat indah 
bagai pelangi, meskipun  ia 
sering muncul setelah hujan bahkan badai halilintar. Anilah mimpi yang 
masih tersisa dan terus bermimpilah supaya esok kita masih punya 
pengharapan.
REFF:
http://politik.kompasiana.com/2012/08/13/ahok-adalah-kekuatan-jokowi-485081.html