Jumat, 28 Desember 2012

NASIONALIS GUBERNUR JOKOWI-AHOK

        Keberanian Jokowi untuk memilih Ahok sebagai calon wakilnya di pilgub DKI sesungguhnya di luar kebiasaan seorang pemburu rente kekuasaan yang senang memilih zona aman untuk mendapatkan kekuasaan. Orang lebih senang memilih jalan short cut untuk mencapai tujuan, termasuk meraih kekuasaan. Logika inilah yang banyak dipraktekkan oleh pemburu kekuasaan dengan menjual isu primordialisme untuk mengkamuflasekan kapabilitas leadership dan manajerialnya. Dan tidak salah, di banyak daerah terbukti manjur.

        Namun jalan ini tidak dipilih oleh Jokowi. Dia lebih menyukai proses daripada hasil. Logika alaminya, proses yang baik akan menentukan kualitas hasil. Berbeda dengan orang yang berorientasi pada hasil, mereka sering melupakan proses, sehingga sering tidak mendapatkan pelajaran apa-apa. Kata bijak mengatakan bahwa “orang yang naik tahta dengan tanpa persiapan, dia akan turun dengan tanpa kehormatan”. Tidak sulit untuk membuktikan kalimat diatas, tinggal dilihat di buku notulen KPK, Kepolisian atau Kejaksaan, berapa pejabat yang sudah menjadi alumninya atau masuk dalam daftar waiting list-nya.
Pikiran Jokowi jauh melewati politisi dan “negarawan” negeri ini yang sering berpidato tentang “4 pilar negara”, kebhinekaan, pluralism, nasionalisme atau paham-paham kebangsaan yang lain. Seolah-olah ide-ide kebhinekaan, pluralism, nasionalisme melompat dari generasi Soekarno, Soepomo, Bung Hatta ke generasi Jokowi Ahok, tanpa menyisakan bekas-bekas di generasi perantara mereka. Di saat seorang mantan ketua lembaga tertinggi Negara, ketua umum parpol Islam dan juga sebagai pejabat negara masih terjebak dalam pemikiran primordialisme, Jokowi sudah mempraktekannya sepuluh tahun lalu, ketika menggandeng FX Rudi H. sebagai wakil walikota Solo. Inilah test case pertama Jokowi terhadap kedewasaan berbangsa dan bernegara yang diwariskan oleh founding fathers bangsa Indonesia, dan dia berhasil. Test case kedewasaan berbangsa dia lakukan untuk kedua kalinya, di Jakarta yang merupakan jantung pluralism di Indonesia, yang sekaligus berkumpulnya elit politisi, negarawan, pakar dan para ahli-ahli agama, ternyata resistensinya jauh melebihi dari Kota Solo.

         Untuk memilih calon wakilnya, Jokowi lebih memilih kualitas leadership dan integritas daripada label primordial yang melekat pada diri seseorang. Karenanya meskipun Ahok yang beretnis China dan beragama non-Islam, namun dia dengan mantap menggandengnya. Sebagai seorang muslim dan sudah menunaikan ibadah Haji, tentu Jokowi paham ajaran Islam, bisa membaca Qur’an dan Hadits. Di situlah letak keyakinan dia pada Tuhan, bahwa sekalipun dia memiliki wakil walikota non-islam keimanan dia tidak akan terpengaruh dan justeru menunjukkan romatisme kerukunan umat beragama. Jokowi yang islam tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk mengislamkan masyarakatnya yang non-islam, demikian juga FX Rudy H. tidak pernah menggunakan kekuasaanya untuk mengkristenkan umat islam.
Jokowi tak memiliki gairah untuk memperdebatkan soal keyakinan. Baginya menilai keimanan dan ketaqwaan seseorang adalah hak prerogative Tuhan. Oleh karena itu dia tidak peduli ketika banyak ustadz dan ahli agama yang senang mengkafirkan orang lain, bahkan saudara seimannya, seolah-olah merekalah pemegang kunci pintu sorga. Baginya, ketaqwaan harus menjelma dalam ruang social dan hadir dalam bentuk kesantunan, kejujuran, dan kesabaran. Pernahkah kita membaca berita bahwa Jokowi menfitnah atau menyerang pribadi lawan politiknya selama masa Pilkada DKI ? Padahal setiap hari dia diliput oleh media.
Keberanian menggandeng Ahok juga menunjukkan komitmennnya untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih focus menjalankan visi dan misinya. Tidak sulit bagi PDIP, Gerindra atau Jokowi sendiri untuk mencari figure popular seperti purnawirawan TNI-Polri ataupun politisi senior. Namun kredibilitas Ahok dalam membangun prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparensi memberinya keyakinan bahwa roda pemerintahan akan kembali pada jalurnya. Duet Jokowi-Ahok sangat indah bagai pelangi, meskipun ia sering muncul setelah hujan bahkan badai halilintar. Anilah mimpi yang masih tersisa dan terus bermimpilah supaya esok kita masih punya pengharapan.

REFF:
http://politik.kompasiana.com/2012/08/13/ahok-adalah-kekuatan-jokowi-485081.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar